Total Tayangan Halaman

Jumat, 08 Januari 2021

GUSDUR : demokrasi Seutuh-utuhnya!

 


credit by : Toni Malakian
"Organisasi bajingan!" mengutip Gus Dur untuk digunakan sebagai argumentasi agar lebih "legitimate" oleh "Sahal" satu yang mengaku intelektual muda ormas kenamaan---yang kini katanya----sekolah di universitas Pennsylvania, mamaerika. 

Betul. Gus Dur yang memang mengatakan demikian karena jengkel terhadap peristiwa penyerangan Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di Monas, 12 tahun silam lalu. 

Namun Sahal satu (yang katanya) intelektual itu juga tidak utuh, parsial, cenderung memaksakan dalam mengutip perkataan Gus Dur tersebut. 

Kenapa? Karena gagal melihat konteks peristiwa-nya.

Ya, Gus Dur memang dibuat jengkel oleh ormas tersebut; terlebih karena pihak kepolisian gagal memberikan perlindungan bagi semua warganegara (tanpa terkecuali), yang membuat Gus Dur makin geram.

Kita mafhum dengan kejengkelan Gus Dur dengan ormas yang dikenal vandal, reaksioner, intoleran dengan semangat sekterianisme-nya.

Namun sejengkel-jengkelnya atau segeram-geramnya Gus Dur pada FPI, tidak ada pembubaran atau pelarangan Ormas dizamannya----terlebih dengan cara-cara tidak demokratis.

"Biar saja nanti juga bubar sendiri" kata Gus Dur di lain waktu, saat ditanya bagaimana membubarkan ormas yang baru saja dilarang oleh pemerintahan Jokowi.

Masalahnya Perppu ormas itu sendiri sangat sumir, absurd, bahkan boleh jadi menyimpang dari asas. Silakan dibaca. 

Sementara Gus Dur tahu persis: organisasi hanya manifestasi dari sebuah ideologis. Membubarkan ideologi Gus Dur anggap: pekerjaan sia-sia belaka.

Ketika tahun 1960, Sukarno membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Apakah nilai-nilai yang ditawarkan M. Natsir dkk serta Sjharir dkk, mati? Tidak!

Rejim ototarianisme Suharto tidak hanya membubarkan dan melarang PKI, tapi juga membantai jutaan nyawa manusia; baik yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan.

Apakah ideologi tersebut mati juga? Sekali lagi: tidak! 

Fasisme muncul secara konkret melalui ultras-kanan di zaman Trump secara vulgar.

Komunisme mungkin kalah dalam perang dingin, namun tetap kokoh secara organisasional kepartaian di China, Korut, juga Vietnam.

Itulah mengapa Gus Dur berencana mencabut TAP MPRS 1965 tentang pelarangan PKI.

"Anda berencana menghidupkan kembali PKI? Anda tidak takut?" tanya seorang wartawan. "Sama PKI aja kok takut. Itukan mainan Suharto" ujar Gus Dur dengan enteng.  

Sementara dari Timur Tengah, Mesir, Anda juga bisa lihat bagaimana Ikhwanul Muslimin (IM) dihabisi oleh rejim militer---Al-sisi---masih memiliki pengaruh di Tunisia, Yordania sampai Maroko. Organisasi yang didirikan oleh Hasan Al-banna ini bahkan mempunyai cabang di negara-negara Barat, meskipun tampil dengan wajah lebih moderat.

Apakah dengan pembubaran HTI atau dibubarkannya juga pelarangan ormas2 akan bersifat otomatisasi demikian? Salah kaprah. Itu tidak semudah membalikan telapak tangan; atau, tidak semudah memenangkan putra kita untuk dicalonkan sebagai walikota pada pilkada karena kita punya kekuasaan.

HTI adalah Gerakan utopianisme dengan segala dogma-dogmanya. Mereka mencela demokrasi secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Namun pada pilpres 2019---HTI mendatangi kotak suara sebagai "bentuk perjuangan" untuk memenangi salah satu Paslon tertentu. Padahal sebagaimana kita tahu, kotak suara bukan menjadi salah satu "wasiat terakhir" perjuangannya. 

Gus dur sendiri menolak negara Islam. Pandangan Gus Dur  tentang khilafah dapat kita temui di buku "Islam mu, islam Anda dan Islam kita", yang sederhana tanpa mengurangi keseriusannya.

Namun perlu dicatat, Gus Dur tidak segan-segan membubarkan lembaga-lembaga yang merugikan rakyat, yang memang layak untuk dibubarkan.

Kita bisa tengok bagaimana Gus Dur membubarkan departemen sosial (kementerian sosial) yang menjadi lumbung korupsi; kita juga besok tengok departemen penerangan yang digunakan rejim orde baru sebagai alat propaganda kekuasaan absolut-nya; atau yang paling heboh: membubarkan DPR melalui dekrit-nya.

Terbukti. Betapa kita dirugikan Kementerian sosial dengan korupsi dana Bansos baru-baru ini. Dan kita berkali-kali dirugikan oleh DPR yang mengesahkan: UU minerba, UU KPK, dan UU omnibuslaw; direzim yang sama.

Gus Dur memang seorang pemikir kosmopolit dan demokrat sejati. Persis yang disematkan oleh Greg Barton. Meskipun mempunyai kekurangan, dia mampu melihat persoalan lebih jelas dan terang benderang.

Masyumi, PSI, PKI, HTI hingga FPI adalah setali tiga uang dengan periode yang berbeda: dibubarkan, dilarang, atau apalah namanya!

Anda atau saya boleh tidak sepakat dengan kelompok yang bernasib sama di atas. Namun Gus Dur berderma: Demokrasi harus dijalankan seutuh-utuhnya. Tanpa melanggar hak-hak individu ataupun kelompok, tidak ada pengecualian---sekalipun kita tidak setuju dengannya.

Dari Gus Dur kita belajar: tidak ada satupun yang mampu membubarkan ideologi manapun. Ideologi hanya bisa dibuat untuk tidak percayai, bukan dibubarkan.


credit image by: Toni Malakian


Senin, 02 Februari 2015

 SELAMAT JALAN PAMAN



Tanggal 28 Januari 2015, encik saya,(panggilan adat betawi berarti paman)  menghembuskan nafas terakhir pukul 19.00 wib,dicondet,setelah sebelumnya dirawat dirumah sakit polri,kramat jati. Beliau menyusul  almarhum ayahnya (kakek saya), yang  6 bulan sebelumnya lebih dulu meninggalkan beliau.  Beliau anak ke-dua dari 8 bersaudara keluarga besar dari ayah saya. Semasa hidup banyak kenangan bersama beliau. Beliau termasuk paman saya yang humoris dengan dialek betawi yang cukup kental. Beliau sangat hobi bermain catur. Saya termasuk salah satu lawan tandingnya ketika berkunjung kerumah beliau. Kadang saya kalah;kadang menang. Hal yang pasti adalah ketika bermain catur diteras rumahnya,pasti ada saja cemilan yang dikeluarkan  untuk mengisi kami bermain catur. Bukan hanya saya yang menjadi lawan,paman-paman saya yang lain   bahkan warga setempat Juga sering menjadi lawan tandingnya. Rumah paman saya dijadikan markas   mengisi permainan catur  yang konon katanya   permainan ini sudah ada ribuan tahun yang lalu. Bahkan menantu sekaligus sahabat nabi saw, Ali ibn abi Thalib, sangat mengemari permainan yang satu ini. Paman saya ini, sebelum menderita penyakit gula,tubuhnya termasuk tambun. Padahal, tidak ada gen dalam keluarga besar ayah saya yang menderita penyakit gula. Karena tubuhnya tambun, beliau mendapat julukan panggilan dalam keluarga besar ayah saya maupun panggilan teman sejawatnya,dengan panggilan: Bagol. “Bagol”  dalam bahasa betawi, secara harfiah berarti besar,gede, atau gemuk. Teringat lagu bang haji Rhoma Irama, “begadang jangan begadang”. Beliau termasuk gemar  begadang dan tidak menjaga pola makannya. Hal ini yang menyebabkan paman saya terserang penyakit gula darah,sehingga tubuhnya menjadi sangat kurus saat melawan penyakit gulanya itu. Tidak jarang saya suka menemukan pemeo-pemeo  lucu istri beliau---yang membuat saya tertawa,ketika itu penyakit gulanya masih sebatas gejala,belum kronis. Misalnya “kalong” (kelawar) : malam jadi siang,siang jadi malam”,cetus istri. Karena tidak mampu menjaga pola makan dan tidur dengan baik, beliaupun melupakan untuk menjaga kesehatan dirinya sendiri. Padahal saya sering menasehati beliau, agar menjaga pola tidur maupun pola makannya.  Dalam usia 57 tahun, beliau meninggalkan 8 anak kandung, empat laki-laki; ke-empatnya lagi perempuan.


Hukum Islam dan Adat Betawi

Setelah jenazah dimandikan,saya ikut membantu mengantar keranda jenazah sampai mesjid untuk disholati, kebetulan mesjidnya itu tidak jauh dari rumah kediaman beliau. Dalam adat betawi yang saya pahami, biasanya ada seorang wali (ustad) memberikan pemaparan riwayat sang almarhum. Yang menarik perhatian saya, begitu sangat religiusnya masyarakat betawi dari dulu hingga kini masih bepegang hukum adat yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Kalo kita telaah dari akar historis maupun sosiologis betawi, hukum islam sebenarnya sudah ada sejak berabad-abad yang lalu  hukum islam hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Bahkan didalam kehidupan masyarakat betawi, hukum Islam dijadikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat betawi (batavia) pada saat itu.  Sehingga, pihak belanda-pun mempelajari hukum Islam untuk mengkompilasikannya kedalam kitab Compendium Freijer yang terkenal itu   dengan menggunakan bahasa  melayu arab dan dalam bahasa belanda, ditahun 1740. Karena batavia sebagai pusat kekuasaan belanda dijamannya,maka pihak belanda menjadikan kitab kompendium itu sebagai aturan pegangan para hakim untuk diberlakukan dipulau jawa. Bahkan pada merasa kerjaan nusantara dulu, hukum Islam didukung ulama-ulama dan diterima oleh penguasa politik, raja-raja maupun kesultanan. Kembali kepada topik pembahasan tulisan, kereligusan masyarakat betawi menjadi tradisi hingga kini, tak jarang banyak yang masih mempertahankan adat istiadat hukum betawi jika tidak bertentangan dengan hukum-Nya. Kalo anda melihat gambar dibawah ini,
kita bisa lihat ada dua batang bambu dengan sebuah papan yang berisi beras. Gunanya beras tersebut adalah untuk membayar fidyah almarhum yang selama sakit  tidak dapat menunaikan kewajibanya sebagai seorang muslim. Didalam mesjid, si wali hakim (ustad) yang mewakili keluarga almarhum,meminta kepada seluruh para pentakziah yang datang dimesjid dibagi dua kubu. Kubu yang sebelah kanan maupun kiri. Setelah membacakan perjalanan ibadah yang tidak dapat ditunaikan almarhum, maka sebagai pengganti, si wali mengumumkan untuk diganti (fidyah) untuk diberikan kepada pentakziah (yang mau menerima) yang berada disebelah kanan maupun kiri. Para pentakziah pun berperan bukan hanya sebagai pentakziah, tetapi juga berperan sebagai juri. Setelah dikonfirmasi oleh wali hakim, para pentakziah pun mengucapkan: “diterima fidyahnya”. Maka selanjutnya tugas pendorong alat itu, mendorong kekiri-kekanan jika si wali hakim membacakan amal sebagai pengganti (fidyah) almarhum sekaligus mengkonfirmasi kepada pentakziah sebelah kiri,dan sebaliknya. Secara simbolik, alat itu mengkonfirmasi bahwa fidyah si almarhum dapat diterima. Saya tidak tahu asal muasal alat tersebut. Tapi yang jelas,begitu kayanya bangsa ini  dengan berbagai macam adat istiadat. Entah sampai kapan- eksistensi adat ini tetap eksis. Melihat di era-globalisasi  yang begitu derasnya budaya bangsa lain masuk. Bahkan ada yang lebih bangga dengan budaya bangsa lain,dibanding budaya sendiri.  Mudah-mudahan kita tetap mencintai budaya adat istiadat bangsa ini. Hal menarik yang perlu kita ketahui, ketika Rosihan Anwar berbicara kepada Muhammad Hatta, mereka berdua tidak pernah menggunakan bahasa minang,mereka lebih sering berbicara dengan bahasa asing, kebanyakan bahasa belanda, ketimbang bahasa tempat kelahirannya. Padahal mereka berdua adalah orang minang,padang. Tapi entah kenapa, ketika M.Hatta yang lebih dulu meninggalkan Rosihan Anwar, M.Hatta untuk terakhir kalinya bercakap dengan Rosihan Anwar dengan Bahasa minang,padang. Mungkin secara tidak langsung Tokoh proklamator itu ingin menyampaikan, ini identitas kita sebenarnya. Begitupun dengan paman saya ,iya meninggakan identitasnya sebagai orang Indonesia, dari suku betawi. Dan saya pun bangga menjadi orang betawi. Kepada-Nyalah kita kembali dengan identitas kita sebenarnya. Waallahuaalam.


gambar 

 accurations.wordpress.com

Sabtu, 22 November 2014

Dua dimensi-Nya




 

Terkadang manusia terlalu larut terhadap  gagasan jalaliyah, sehingga kita melupakan nilai-nilai jamaliyah.  Kalo kita membaca 99 Asmaul husna (nama-nama MuliaNya) kita akan menemukan sifat-sifat Jamalliyah dan Jallaliyah Allah swt.
Sachiko Murata dalam The Tao of Islam, menerjemahkan kata jalal dengan His Majesty dan kata jamal dengan His Beauty. Jika jalal berhubungan dengan zat Allah, maka jamal berhubungan dengan sifat-sifat Allah.
Jamaliyah adalah sifat-sifat Allah yang Maha Pemurah (Ar-rahman),Maha Pengasih (Ar-rahim),Memberi Nikmat ( Al-basith), Maha lembut (Al-latief) dst. 
Jalaliyah adalah sifat-sifa maskulin  Allah swt yang Maha berkuasa (Al-Aziz),Maha kuat (Al-jabbar), Maha memiliki Kebesaran (Al-muttakbir) dst.
Dua dimensi  ini bukan tanpa tidak terencana. Gambaran yang serba sepasang ini pasti disengaja dipersembahkan untuk ummat-Nya; layaknya ada siang ada malam; matahari dan bulan;  pria dan wanita; dst.
Ya, sifat ini, sesungguhnya Allah menyentuhmu dengan sifat Jalaliyah dan jamaliyah tanda bahwa Dia ada. Dalam kehidupan, kita akan membawa sifat-sifat ini dalam kehidupan kita. Bahkan, terkadang,para orang tua memberikan pemahaman kepada anaknya (untuk ibadah: shalat dll) memperkenalkan “wajah Allah swt” dengan  sifat-sifat Jalal-Nya. Sehingga para orang tua lupa memperkenalkan sifat-sifat jamaliyah-Nya. Hal ini menjadi pedagogis para orangtua, si anak menjadi “terpaksa” atau karena “takut” akan azab-azab-Nya menjalankan Ibadah kepada-Nya,karena takut akan kemurkaan-Nya dan lain sebagainya. Seperti yang telah dipaparkan diatas, dua dimensi tersebut tidak bisa dipisahkan. Kedua-duanya sama-sama dibutuhkan,terlebih untuk kehidupan kita bahkan untuk pola mendidik anak dengan dua dimensi tersebut. Sisi kosmik yang harmonis dan saling melengkapi.

Ketika dikaji lebih jauh  dalam alqur’an, jumlah Asma Allah dalam dimensi jamaliyah ditampilkan jauh lebih banyak  dibandingkan dimensi jalaliyah-Nya. Ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar dari sifat  ke-maskulinan-Nya, ampunan Allah jauh lebih  besar dari adzab-Nya. Dalam Qs. 6 : 12 disebutkan “Kataba ala nafsih ar rahmah“ (Allah telah mewajibkan atas dirinya memiliki sifat cinta kasih) Dalam Qs. 7 : 156 “Warahmati wasiat kulla sya’  (dan kasih sayangKu meliputi segala sesuatu).3  


Islamisasi Walisongo (Dimensi Jamaliyah)
“Wali” dalam pengertian para sufi adalah walayah (bahasa indonesia: wilayah), setiap wali itu memimpin wilayah (minimal secara rohani). Dalam pandangan kaum sufi: Sufi itu jernih dan suci. Habib Anis bachsin mengatakan, ketika manusia dalam titik “tobat” manusia bisa mencapai titik tersebut. Dimana (kulminasi) berpikir berubah tentang realitas. Semua apa yang dia ketahui berubah pikirannya. Yang tadinya tinggi dianggap hina; yang dianggap rendah menjadi mulia; yang rendah dianggap tinggi; yang hina dianggap mulia; semua berpikir secara terbalik. Proses islamisasi Jawa adalah hasil perjuangan dan kerja keras para wali-wali Allah swt,proses islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai, nyaris tanpa konflik baik sosiokulturalnya maupun politik----meskipun terdapat konflik---skalanya sangat kecil----sehingga tidak mengesankan sebagai perang kekerasan ataupun pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut Islam dengan sukarela.  Dari catatan Marcopolo (1291) hingga Laksamana Cheng Ho (1405) Islam belum  berkembang di Nusantara. Menurut catatan, 800 tahun Islam tidak bisa diterima pribumi secara masal. Baru, pasca walisongo, islam bisa berkembang secara progresif hanya kurang lebih tempo 40 tahun. Bahkan sepanjang pantai Utara jawa dan pedalaman (para penguasa) Raja dan Adipati sudah memeluk Islam.  Padahal  sebelumnya, menurut catatan Juru tulis Laksaman Cheng Ho yang bernama Ma-Huan--ditahun 1433 kunjungan terakhir Laksamana Cheng Ho ke-Nusantara----penduduk pedalaman masih kafir. Hal ini membawa kita kepertanyaan para sejarah dan pertanyanan akademis: “Mengapa begitu cepat Islam berkembang di Nusantara pasca kedatangan Walisongo?”  Ada beberapa metode Islamisasi selain sinkretisasi yang dilakukan oleh Walisongo yang pada saat itu, dari aspek sosial pada zaman majapahit mempunyai 2 varian tataan masyarakat. Pertama, Gusti (Tuan). Kedua, kulo (masyarakat sipil dianggap budak). Kulo ,Masyarakat sipil (budak) tidak mempunyai hak perdata pada saat zaman kerajaan majapahit. Semua milik kerajaan. Dalam konteks Negara, semua yang dimiliki rakyat punya Negara.
 Kerajaan bisa mengambil apapun yang dipunya masyarakat sipil (Kulo) termasuk anak mereka untuk tumbal. Tentu saja, walisongo menganggap hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Karena penciptaan manusia didasari sifat kasih sayang Tuhan, maka yang timbul adalah perasaan cinta (mahabbah), sehingga posisi kita terhadap Tuhan dalam dimensi ini bukan lagi sebagai seorang hamba, melainkan sebagai seorang khalifah (wakil Tuhan). Itu artinya, hanya manusialah satu satunya diantara seluruh mahluk di alam semesta yang mendapat kepercayaan Tuhan mengenakan jubah kehormatan sebagai wakilnya di bumi. Maka, walisongo, mengubah tataan tersebut; dan membuat struktur masyarakat baru. Bernama “masyarakat” yang diambil dari bahasa arab yaitu “musyarokah” artinya adalah “kerjasama-gotong royong”. Walisongo tampaknya tahu betul “watak” masyarakat jawa pada saat itu sangat arogan. Dalam kampenye jokowi dipilpres 2014 menggunakan jargon: “Revolusi mental”. Walisongo juga merevolusi mental masyarakat jawa pada saat itu. Masyarakat jawa pada zaman itu sangat bangga ketika berhasil menundukan dan merendahkan orang lain. Prinsip itu dikenal dengan istilah jawa: Adigang,adigung,adiguno. Arogansi orang jawa dicatat juga oleh Antonio Pigafetta 1522. Bahkan, kalo ada orang asing yang berjalan ditempat yang lebih tinggi akan disuruh turun; kalo tidak mau turun diancam dibunuh. Kalo keduanya tidak mau mengalah,maka pilihannya: berkelahi sampai mati. Tidak ada kata “kalah” buat orang jawa pada zaman itu, mereka tidak mau dikalahkan, terlebih persoalan harga diri. Barulah pada zaman walinsongo meresepir kata “ngalah” dari bahasa arab yaitu “menuju Allah swt”. Kemudian walisongo mengenalkan istilah baru yaitu “sabar”, “adil” “tawadu” yang juga diambil dari akar kata bahasa Arab.  Inilah yang membuat dakwah walisongo begitu progresif di-Nusantara. Walisongo memperkenalkan dimensi-dimensi Jamaliya-Nya selain metode sinkretisasi kepada masyarakat jawa, yang kemudian berkembang ke-Nusantara. Begitu berlikunya perjalanan proses perkembangan Islam, sehingga (kita) sangat amat menyayangkan jika ada pihak-pihak yang mengkontradiksi ajaran Islam yang rahmatan lil alamin khususnya islam “pentungan” kata alm.Gusdur. Seperti  cara-cara penghasutan,vandalisme,bahkan cenderung kearah anarkisme dilakukan FPI yang menolak AHOK sebagai gubernur DKI jakarta.

 Vigilantisme bukan bagian Islam
berangkat dari sentimentil agama, AHOK yang non-muslim dan juga dari kalangan minoritas menjadi dasar  penolakan tersebut. Pertanyaan timbul, kenapa kalo pemimpin dari kalangan non-muslim jadi pemimpin? Bukankah Imam Ali kwh mengatakan: Bahwa pemimpin dari non-muslim lebik baik dari pada pemimpin muslim tapi dhalim.” Ada yang bilang: “Ah, Imam Ali hanya manusia, sama seperti kita”. Lalu, bukankah Rasulullah mengatakan bahwa: "Ali adalah gerbang ilmu, akulah kotanya. Jika ingin mengetahui ilmu, maka belajarlah lewat pintunya”. Saya berpikir sebuah kerugian besar buat umat muslim, jika berangkat dari sentimen Agama,suku ,dan ras. Jelas,yang dirugikan umat muslim akan hal ini. Sejarah juga mencatat, bagaimana piagam madinah dalam pengertian konstitusi modern. Piagam madinah adalah pesan kepada seluruh Umat Nabi Muhammad saw, bahwa Islam menerima perbedaan secara tekstual maupun kontekstual. Perbedaan adalah realitas, siapa yang mengabaikan realitas, maka dia orang yang mengabaikan pemikiran,ide,sejarah dan nilai-nilai mulia. Saya hanya menghimbau kepada masyarakat DKI khususnya, jangan terprovokasi oleh pihak yang dengan sengaja mencoreng Islam kewajah publik dengan nilai-nilai yang bukan wajah Islam sebenarnya. Terlebih lagi ada kepentingan politisi yang ingin mencuri kesempatan dalam kesempitan untuk mengimpeach Ahok. Semoga Umat muslim bisa mengambil hikmah dari perjalanan bangsa kita untuk menjunjung tinggi toleransi dan nila-nilai demokrasi. Semoga kita diberi kemudahan dalam segala urusan,hanya kepada diri-Nyalah kita berserah..